Sebuah Cerita Tanpa Koma!

Waktu berlalu tanpa peduli apa yang terjadi, tanpa peduli siapa pelakunya dan apa yang dilakukannya. Waktu memandang semuanya sama. Jika tidak bisa menjadi yang terbaik hari ini, jangan harap akan menghasilkan yang terbaik hari esok. 24 jam seakan berlalu tanpa terasa bagi kami. Setiap detik waktu yang berjalan menjadi sebuah cerita tanpa koma. Puluhan ide dan cerita memberontak memenuhi otak menuntut untuk segera dituangkan dalam berita.

Tak ada batasan waktu bagi kami, tak ada koma dalam dunia kami. Dunia kami menuntut untuk selalu menghasilkan yang terbaik dan berkualitas. Meskipun sejenak melupakan masa indah hidup kami, semua itu demi mimpi kami untuk selalu menjadi yang terbaik. Kami bercerita tanpa koma, berlari mengejar realitas. Waktu dan pena setia menemani hidup kami. Karena dengan itu kami kuat.

Jika orang lain mati meninggalkan bangkai, kami tak akan mati. Kami menulis lembar demi lembar yang menjadi saksi dan kekuatan untuk tetap dikenang hingga kini. Menjadi saksi hidup kami dan mereka. Semuanya terekam indah dalam goresan pena. Kata-kata yang menjadi ekspresi indrawi, penekanan yang mewakili emosi, dan semua cerita yang menggambarkan kebahagiaan. Dengan harapan kami akan selalu bermanfaat bagi sesama dan tetap memberikan kontribusi positif bagi perkembangan media massa sekolah. (Red)

Jumat, 18 Maret 2011

Pengorbanan Sang Sahabat

Pagi itu sang surya masih menyambut alam dengan ramah. Burung-burung gereja pun berterbangan di sela-sela gumpalan awan dengan langit yang berwarnakan biru cerah. Nampak Devina, remaja SMA yang masih terpaku membaca buku novelnya di atas rakitan bambu dengan empat buah kaki penyangga di bawah pohon mangga yang berdiri kokoh di dekat kantin sekolahnya. Seringkali remaja kutu buku itu menghabiskan waktu istirahatnya disana, dan baru menutup novel kesayangannya itu saat bel sekolah berdentang. Devina, remaja yang bertubuh tinggi langsing, berkulit putih, dan berparas ayu ini memiliki tabiat pendiam, dan merupakan salah satu anak yang berprestasi di kelasnya. Selama di sekolahnya ia betah sekali duduk menyendiri di dekat kantin sekolahnya.
Terlebih bila sudah membuka-membuka koleksi novelnya. Kebiasan seperti itu ia lakukan tak lama setelah ayahnya kalah di sidang pengadilan dalam kasus korupsi. Dulunya ia adalah anak dari seorang pengusaha kaya. Ia adalah anak yang bergaya hidup mewah dan selalu memamerkan kekayaannya di depan teman-temannya. Bayangan peristiwa yang terjadi setahun lalu itu sering kali menyeruak di hadapannya, peristiwa yang telah mencabik-cabik mukanya dengan sembilu di depan teman-temannya. Kini, Devina merasa hidupnya tak ada artinya lagi, dia bukan lagi anak pengusaha yang seenaknya bisa berfoya-foya. Dia harus bisa menerima kenyataan bahwa ia telah jatuh miskin. Begitulah kira-kira pedihnya Devina saat ini, dan kebanyakan temannya pun tak mau menemaninya.
Tiba-tiba, Devina dikejutkan oleh Airin yang membuyarkan bayangan kegetirannya,
“Vin, bel sekolah udah bunyi, tuh… Buruan masuk kelas, nanti kamu telat lo...”.
Devina pun langsung menuju ke kelas tanpa sepatah kata pun yang keluar dari mulutnya.
Airin adalah teman sekelas Devina. Dia juga anak yang berprestasi seperti Devina. Tetapi yang membedakannya dengan Devina, Airin adalah anak yang pandai bergaul dan ia juga tidak sombong. Tabiat Airin ini membuat banyak anak kagum dan suka berteman dengannya. Ayah Airin adalah seorang pengacara. Airin adalah satu-satunya anak di kelas Devina yang selalu memperhatikan Devina. Tetapi Devina selalu menghindar darinya, tidak jarang ia merasa iri dengan sikap ramah Airin, dan bahkan Devina sangat membencinya.
Peristiwa yang terjadi setahun lalu yang menimpa ayah Devina yang membuat Devina sangat membenci Airin. Pada saat itu, ayah Airin bekerja sebagai pengacara dari orang yang telah menuduh ayah Devina melakukan tindak korupsi. Dan ayah Devina pun kalah dalam persidangan dan dijebloskan ke penjara. Tak lama setelah itu ayahnya meninggal karena serangan jantung.
Suatu hari, saat matahari menyengat tubuh sangat panas, ketika jam pelajaran berlangsung tampak seorang guru mengetuk pintu kelas Devina dan Airin yang tertutup rapat.
“ Tok…tok…tok…”
“ Ya, silahkan masuk! “. Jawab Bapak Guru yang saat itu sedang mengajar di dalam kelas.
“ Maaf Pak, mengganggu. Saya hanya ingin memanggil Devina “. Kata si Ibu Guru BK itu.
Sinar mata Devina pun langsung menunjukkan rasa ketakutan dengan wajah terperangah. Timbul pertanyaan memberondong yang bergejolak dalam dirinya.
“ Ada apa ya ini? Kenapa aku dipanggil ke ruang BK? Apa aku telah membuat masalah? “
Devina pun langsung bergegas menuju ke ruangan itu.
Dengan menarik nafas panjang ia segera memberanikan diri bertanya kepada guru BK itu “ Ada apa, Bu? “
“ Sebelumnya saya minta maaf, Vin. Kamu sudah menunggak SPP selama tiga bulan. Jika kamu tak segera melunasinya, maka pihak sekolah terpaksa akan mengeluarkan kamu “. Jawab si Ibu Guru itu.
Dengan mata terbelalak lebar, Devina bingung harus menjawab apa, seakan mulutnya tak bisa bergerak.
“ Tolong jangan keluarkan saya, Bu. Saya berjanji akan melunasi semua tagihan SPP saya. Tolong beri saya kesempatan…! “ Ucap Devina memohon-mohon kepada guru itu dengan mata yang berkaca-kaca.
Guru itu pun tak dapat menghindari rasa kasihan terhadap Devina.
“ Baiklah Devina… Saya akan beri kesempatan kamu dua minggu lagi. Jika kamu tak sanggup melunasinya, maka terpaksa pihak sekolah akan mengeluarkan kamu”.
Mendengar ucapan yang keluar dari guru BK itu, hati Devina merasa lega.
“ Terima kasih banyak, Bu. Saya berjanji akan melunasinya. Saya berjanji “.
Kemudian ia segera keluar dari ruangan itu, dan bingung memikirkan tunggakan SPPnya. Tiba-tiba Airin menemui Devina, dan ia bertanya,
“ Ada apa, Vin ? Kenapa wajah kamu tampak murung ? ” Tanya Airin.
Dengan wajah geram dan penuh kebencian, Devina menjawab “ Udahlah, nggak usah sok baik… Apa kamu tak cukup telah menghancurkan hidupku ? ”
“ Kenapa kamu selalu menyalahkanku atas peristiwa itu ? Bukan aku yang melakukannya… Tapi ayahku, karena pekerjaan ayahku sebagai pengacara. Aku juga tidak mau membuatmu seperti ini, aku hanya ingin berteman denganmu… “ Dengan wajah melas Airin membela diri.
“ Udahlah… Kamu nggak usah ganggu aku lagi. Anak sama Bapak sama aja… “ Jawab Devina dengan muka judesnya.
Mendengar jawaban Devina seperti itu, hati Airin bagai tersambar petir, jantungnya bagai tertusuk sembilu. Dengan mata yang berlinangan air mata, Airin pun meminta maaf pada Devina.
Devina tak sedikitpun mendengarkan ucapan Airin dan langsung meninggalkannya.
Lalu Devina berjalan menuju keluar pintu gerbang sekolah dan pulang ke rumahnya. Di sepanjang perjalanannya pulang, pandangannya kosong. Ia terus memikirkan apa yang harus dikatakannya nanti pada ibunya. Dia tidak mungkin tega mengatakan pada ibunya yang sedang sakit-sakitan kalau ia menunggak SPP selama tiga bulan.
Sesampainya di rumahnya yang sederhana, ia membuka pintu rumahnya yang terbuat dari kayu yang sudah rapuh, sambil mengucap salam,
“ Assalamualaikum, Ibu… “
“ Uhuk…Uhuk…Uhuk… Walaikum salam… “ Jawab Ibu Devina yang sedang menahan sakit yang dideritanya.
“ Ada apa, Dev? Wajah kamu kok Nampak pucat? “ Tanya Ibu Devina.
“ Tak apa-apa, Bu… Aku hanya sedikit tidak enak badan. “ Jawab Devina yang sedang berusaha menyembunyikan masalahnya.
Devina langsung masuk ke kamarnya dan terus memikirkan apa yang dialaminya. Lalu ibunya curiga, dan masuk ke kamar Devina untuk menanyainya,
“ Dev, kamu pasti ada masalah di sekolah ya ? Apa ini soal SPP lagi? “
Dengan wajah terpaksa Devina menjawab pertanyaan ibunya karena tak bisa menyembunyikannya lagi,
“ Ya, Bu… Maaf, Devina tak cerita ke Ibu. Aku takut Ibu terlalu cemas memikirkannya, apalagi sekarang Ibu sedang sakit “.
“ Dev, apapun masalah kamu, Ibu janji akan bantu. Ibu akan melunasi semua SPP kamu. Yang penting kamu tetap bisa sekolah “. Jawab si Ibu.
“ Maaf, Bu… Aku selalu merepotkan Ibu. Aku janji akan mencari jalan keluarnya “ Jawab si Devina dengan wajah menyesal.
Keesokan harinya, Devina berangkat ke sekolah dan menjumpai formulir tentang beasiswa bersekolah ke luar negeri di papan pengumuman sekolah. Siapa saja bisa memperoleh beasiswa tersebut dengan mengikuti seleksi.
Dengan penuh keyakinan, hatinya menggumam, “ Aku pasti bisa mendapatkan beasiswa itu… !! “
Tepat di samping ia berdiri, nampak Airin yang juga sedang membaca papan pengumuman itu.
Dengan wajah sinis Devina berkata pada Airin, “ Kamu pasti tidak akan bisa mendapatkan beasiswa itu, pasti aku yang akan mendapatkannya“.
Dengan hatinya yang sabar Airin menjawab sambil tersenyum, “ Mudah-mudahan kita berdua bisa mendapatkan beasiswa itu “
Seperti biasa, Devina tak menggubris perkataan Airin sedikit pun dan langsung meninggalkannya dengan hati yang berbunga-bunga setelah melihat pengumuman itu.
Akhirnya, Devina dan Airin mengikuti seleksi beasiswa itu.
Seleksi penerimaan beasiswa itupun dimulai. Dan suatu kebetulan Devina dan Airin mengikuti seleksi dalam satu ruangan kelas dengan guru penjaga yang nampak bermuka galak. Sinar mata Devina mamandang jahat pada Airin, berharap ia tidak lulus dalam seleksi. Sedangkan Airin yang memang gadis lugu hanya merespon dengan senyuman ramahnya.
Nampak dua remaja yang memiliki otak cemerlang itu sangat serius mengerjakan soal-soal yang telah disediakan. Tiba-tiba, konsentrasi para peserta terpecahkan oleh suara si guru penjaga kelas,
“ Waktu tinggal lima menit lagi… “
Semua peserta pun panik, dan terburu-buru mengerjakan soal yang lumayan sulit itu. Akhirnya, bel pun berdentang kencang, tanda bahwa waktu mengerjakan soal telah selesai.
Semua peserta pun mengumpulkan lembar jawab mereka ke meja guru. Dengan wajah yakin, Devina keluar ruangan sambil mengejek Airin,
“ Gimana soal-soalnya tadi ? Kamu nggak bisa ngerjain ‘kan ? “
Airin menjawab dengan perasaan santai,
“ Nggak kok… Lumayan mudah “
Setelah itu Devina melengos meninggalkan Airin.
Dengan hati yang berdebar Devina pun menunggu hasil pengumuman beasiswa itu. Ia sangat berharap ia dapt menerima beasiswa itu agar tidak menyusahkan ibunya yang sedang sakit-sakitan.
Hari yang ditunggu-tunggu senua siswa pun tiba, terutama Devina. Pengumuman hasil seleksi perolehan beasiswa itu telah ditempel di papan pengumuman. Para siswa bergerombol melihat hasil pengumuman itu
Saat itu langit sedang berselimut awan hitam dan gelap, Nampak Devina yang menerobos gerombolan para siswa yang sedang melihat papan pengumuman.
Jantungnya berdebar bagaikan genderang. Ia pun memberanikan diri untuk melihat papan pengumuman itu. Ia menunjukkan jarinya pada papan pengumuman dan melihat dengan mata terbelalak lebar baris nama demi baris nama, ia baca dari atas ke bawah berulang-ulang kali sampai tiga kali. Ternyata, dalam papan pengumuman itu, tak ada yang bertuliskan Devina Erlianti.
Matanya pun berkaca-kaca dalam cuaca hujan. Setelah beberapa lama, tak kuasa ia menahan air matanya. Air matanya pun menetes dan membasahi pipinya. Hatinya menjerit,
“ Tuhan, kenapa Engkau selalu merebut kebahagiaanku ? Kenapa Engkau tidak pernah mengabulkan apa yang aku ingin ? “
Tiba-tiba matanya menuju arah tepat sebelah kanan ia berdiri. Ia melihat Airin tersenyum bahagia. Sesuatu yang tak pernah disangka-sangka Devina, ternyata Airin lulus dalam seleksi perolehan beasiswa itu. Airin pun menggumam mengucap syukur,
“ Terima kasih Tuhan… Akhirnya aku bisa menggapai cita-citaku “.
Tak lama kemudian, ia memandang wajah Devina yang tampak sangat sedih dan kecewa,
“ Dev, kamu kenapa ? “
Dengan muka kecewa Devina menjawab,
“ Puas kamu…? Melihat aku terpuruk dalam kekecewaan ini… Udah puas ‘kan kamu melihat penderitaanku ? “
Airin hanya melihatnya dengan wajah terperangah dan tak mampu mengatakan apa-apa. Ia tak menyangka muris sepintar dia tidak lolos dalam seleksi.
Devina pun membentak Airin, “ Hey… Kenapa kamu diam saja ? Kamu bisa tertawa sekarang… “
Airin berusaha menenangkan Devina “ Dev, aku nggak bermaksud…. “
Dan Devina lagi-lagi membentaknya “ Diamlah !!! “ Devina memotong pembicaraan Airin dan menamparnya di depan orang banyak.
Dengan suara kalem Airin menjawab “ Kenapa kamu tampar aku, Dev…? Aku nggak salah. Kalau kamu memang ingin beasiswa itu. Ambilah punyaku… Kalau itu memang bisa membuatmu senang..! “
Dan lagi-lagi Airin berbicara dengan nada sombongnya, “ Tidak… Terima kasih… Aku tidak akan menerima bantuan sepeserpun dari orang seperti kamu. “.
Devina pun berlari di tengah hujan lebat menuju ke rumahnya. Hatinya bagai tercabik-cabik. Rasa kecewa merasuk ke dalam tubuhnya.
Keesokan harinya pada malam yang dingin menggigil. Gemercik air hujan terdengar berjatuhan membentuk simfoni alam yang menggelisahkan, Airin memberanikan diri pergi ke rumah Devina.
Tanpa ragu, Airin menaiki mikrolet menuju ke rumah Kinasih. Mikrolet terus melaju memasuki jalan-jalan kecil. Sampai di sebuah tikungan, tiba-tiba Airin menyentilkan telunjuknya ke langit-langit mobil. Sopir mikrolet menurunkannya tepat di mulut gang kecil.
Tepat di sebelah gang kecil itu, Airin bertemu dengan Devina yang sedang berbelanja di sebuah warung. Airin berhenti sebentar untuk manarik nafas panjang. Setelah itu ia segera memberanikan diri untuk mamanggil Airin,
“ Devina… “
Tanpa berkata sepatah kata pun, Devina menghampiri Airin.
“ Dev, Sbelumnya aku ingin minta maaf. Aku hanya ingin memberikan ini “. Ia menunjukkan sebuah amplop coklat yang berisikan kertas.
Dahi Devina pun berkerut, mukanya semakin nampak kesal, marah, jengkel bercampur aduk menjadi satu.
Tiba-tiba Devina menarik rambut Airin yang terurai panjang. Beribu kata kasar diungkapkan kepada Devina.
“ Kamu memang keparat… Apa kamu belum puas menghancurkan hidupku dan semua harapanku… “
Pertengkaran hebat pun terjadi di tempat itu. Devina pun mendorong Airin sampai ke tengah jalan raya. Devina tak menghiraukan kalau ada mobil yang melaju kencang.
“ Aaaaaaaa… “
Airin berteriak kencang pada saat itu, dan akhirnya ia ditabrak oleh sebuah mobil berwatna biru rua.
Devina pun panik, dan dia memanggil-manggil nama Airin, “ Airin… “
Orang-orang di sekitar lokasi itu pun langsung menepikan Airin ke pinggir jalan raya.
“ Airin, maafkan aku… Aku tak sengaja… “ Kata Devina menyesal.
Tiba-tiba Devina dikejutkan dengan sebuah amplop yang berisi surat yang akan diberikan kepadanya tadi. Dengan cepat ia segera membuka amplop itu.
Hatinya pun terkejut, dan ia bertanya kepada Airin, “ Rin, apa ini? Kenapa di surat penerimaan beasiswa ini tertulis namaku ? “
Sambil menahan rasa sakitnya Airin menjawab “ Kemarin aku pergi ke kantor yang menyelenggarakan penerimaan beasiswa itu. Dan aku menyerahkan beasiswa yang aku terima kepadamu. Aku tidak tau lagi apa yang harus aku lakukan agar kamu biasa memaafkanku.”
“ Rin, maafkan aku.. Selama ini aku sudah berbuat jahat kepadamu. Padahal kamu sudah sangat baik “. Kata Devina menyesal.
Tak lama setelah itu, Airin langsung dibawa ke rumah sakit.
Pagi itu saat Airin di Rumah Sakit, ia berkata kepada Devina,
“ Dev, sekarang kamu bisa menggapai cita-citamu meneruskan sekolahmu ke luar negeri “.
“ Tidak, Rin… Terima kasih. Kamu yang berhak mendapatkan beasiswa itu. Kamu yang lolos seleksi “ Kata Devina.
“ Tapi bagaimana kamu meneruskan sekolahmu ? “ Tanya Airin keheranan.
“ Aku akan mencari dana sendiri. Aku akan berusaha “ Jawab Devina dengan semangat.
Keesokan harinya, Devina mengembalikan beasiswa itu kepada kantor yang menyelenggarakan penerimaan beasiswa itu.
Devina tetap bisa bersekolah walaupun ia tak menerima beasiswa itu. Ia dibiayai oleh ayah Airin. Tidak ada yang menerima beasiswa itu baik Devina maupun Airin. Mereka tidak mau lagi memikirkan hal itu. Setelah semua peristiwa yang Devina alami, ia berubah. Ia menjadi tidak pendiam dan tidak sombong. Ia pun akrab dengan teman-teman sekelasnya. Devina dan Airin pun menjalin persahabatan yang tidak akan pernah sirna.

(by: Ilham Saputra)

0 komentar:

Welcome to Media SMAGA blog ^^